Tuesday, July 17, 2012

Resensi Novel Islami



buku-antara-ibuku-dan-ibuku
buku-antara-ibuku-dan-ibuku (dok)
Membaca novel ini pembaca perlu berhenti sejenak prasangka mengenai poligami. Setidaknya, pembaca diajak untuk mencoba bersabar sebentar, mendengarkan penuturan sang penulis mengenai praktik poligami.

Mengambil setting masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, novel yang berhasil merebut penghargaan Islamic Book Fair (IBF) Award 2012 kategori fiksi dewasa ini mengisahkan tokoh perempuan bernama Tata yang lahir dan hidup dalam sebuah keluarga poligami. Ibunya, Nilawanti, merupakan madu perempuan yang bernama Rahmi. Uniknya, Nilawanti yang seorang wartawati itu usianya lebih tua beberapa tahun dari Rahmi.

Tata kecil awalnya tidak paham mengenai keadaan tersebut. Tetapi, lama-kelamaan ia menyadari hal tersebut. “Sewajarnyalah aku mulai merasakan bahwa aku bukan dilahirkan dari sebuah keluarga yang biasa. Keluargaku tidak seperti keluarga Rina, Warni, atau Nina, sahabat-sahabat karibku. Mereka mempunyai satu ayah, satu ibu, serta hanya beberapa orang saudara. Sedangkan, aku mempunyai satu ayah, tapi dua ibu …” (hlm 54-55)

Sebagai anak, Tata kecewa. Melihat kenyataan tersebut. Dan, kekecewaan tersebut terus dibawanya hingga ia dewasa-hal yang membuat-nya sulit percaya kepada lelaki dan enggan menikah. Tetapi, di sisi lain, ada hal yang membuatnya takjub sekaligus sulit mengerti karena kedua wanita tersebut sangat rukun dan bahu-membahu dalam mengurus suami maupun anak-anak mereka bersama. Sungguh berbeda dengan anggapan sebagian orang bahwa poligami akan menimbulkan konflik antara istri tua, istri muda, dan anak-anak mereka.

Tentu saja keadaan tak selalu indah. Kegetiran dalam sebuah kehidupan, apalagi hidup dengan dua ibu dan satu ayah adalah sebuah keniscayaan. Hingga ayah, ibu kandung, dan ibu tirinya (Rahmi) meninggal dunia, Tata masih menyimpan kegetiran itu dalam hatinya.

Penulis yang kini bermukim di Malaysia mengkritisi praktik poligami yang dilakukan masyarakatnya, masyarakat Minangkabau. “Banyak sudah wanita teraniaya karena kasus poligami. Walaupun dalam Islam diperbolehkan berpoligami, bukan berarti tidak ada aturannya. Persyaratannya sudah jelas tersurat dalam Al-Qur’an. Tapi, mengapa masih banyak pria berkilah, bahkan menjadikan ajaran Islam dalam berpoligami sebagai tameng untuk mencapai niat pribadinya? Sensus pernah membuktikan sebagai data autentik bahwa pria Minang lebih cenderung melakukan poligami dalam perkawinan mereka.” (hlm 276).

Tak sampai di situ, dia pun mencoba memberikan gambaran yang lebih adil tentang konsep poligami. “Tidak semudah itu memutuskan menikah lebih dari satu. Islam membenarkan, tapi ada ketentuan-ketentuan yang harus dijalani … Seorang laki-laki diperbolahkan menikah sampai empat kali dengan maksud semata-mata untuk melindungi atau mengangkat harkat martabat perempuan tersebut.” (hlm 237)

Dan, ketika berbicara tentang, keadilan dalam berpoligami, penulis menggambarkannya dengan manis, “Kadang kala keadlian itu tercipta dengan adanya sebuah kesepakatan bersama.” (hlm 249).

Sebuah novel yang layak dibaca oleh kaum perempuan agar mengerti makna ikhlas dan lebih banyak memandang arti sebuah pernikahan. Tetapi, tentu saja kaum lelaki pun dianjurkan untuk membacanya. ed:wachidah handsah

Resensi ini ditulis oleh: Irwan Kelana (redaktur senior HU. Republika) dan di muat di HU. Republika edisi Ahad, 1 April 2012, Islam Digest: Rubrik Pustaka

No comments:

Post a Comment